Selasa, 23 April 2013

Jurnal Actinomycetes


Deteksi Produksi Oxytetracycline oleh Streptomyces rimosus mikrokosmos dengan menggabungkan Whole Biosensor dan Cytometry Arus (Detection of Oxytetracycline Production by Streptomyces rimosus in Soil Microcosms by Combining Whole-Cell Biosensors and Flow Cytometry) Penulis1 (Muslimatin) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail: DPUHYPERLINK "mailto:DPU@unej.ac.id"@unej.ac.id Abstrak Menggabungkan kekhususan tinggi biosensor bakteri dan kekuatan resolusi fluoresensi-diaktifkan sortasi sel (FACS) disediakan deteksi kualitatif produksi oxytetracycline byStreptomyces rimosus di mikrokosmos tanah. Sebuah plasmid yang mengandung perpaduan antara transkripsi thetetR-diatur promotor Ptet dari Tn10 dan FACS-dioptimalkan gen gfp dibangun. Ketika memendam oleh Escherichia coli, ini plasmid menghasilkan sejumlah besar protein fluorescent hijau (GFP) di hadapan tetracycline. Ini biosensor tetrasiklin digunakan untuk mendeteksi produksi oxytetracycline oleh S. Rimosus introduced ke dalam tanah steril. Tetrasiklin-induced GFP-memproduksi biosensor yang terdeteksi oleh analisis FACS, memungkinkan deteksi pertemuan oxytetracycline oleh sel biosensor tunggal. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mempelajari interaksi antara produsen antibiotik dan mereka target organisme dalam tanah. Kata kunci : Streptomyces rimosus, FACS, biosensor, GFP Abstract Combining the high specificity of bacterial biosensors and the resolution power of fluorescence-activated cell sorting (FACS) provided qualitative detection of oxytetracycline production byStreptomyces rimosus in soil microcosms. A plasmid containing a fusion between the promoter-regulated transcription thetetR Ptet of Tn10 and FACS-optimized gfp gene constructed. When harbored by Escherichia coli, this plasmid produces large amounts of green fluorescent protein (GFP) in the presence of tetracycline. This tetracycline biosensor used to detect the production of oxytetracycline by S. Rimosus Introduced into sterile soil. Tetracycline-induced GFP-producing biosensors were detected by FACS analysis, enabling detection of oxytetracycline meeting by single biosensor cells. This approach can be used to study the interaction between antibiotic producers and their target organisms in the soil. Keywords: Streptomyces rimosus, FACS, biosensor, GFP Pendahuluan Penggunaan biosensor bakteri, yaitu, bakteri memberikan respon dengan mudah diukur setelah terpapar senyawa tertentu atau kondisi lingkungan, adalah pendekatan baru yang menjanjikan dalam biologi lingkungan. Penggunaannya telah Namun, sampai sekarang terbatas pada pengukuran dalam sampel lebih homogen seperti air curah dan ekstrak tanah. Tanah adalah matriks kompleks microhabitats berunding kondisi pertumbuhan sangat bervariasi untuk mikrobiota. Kemampuan untuk memperoleh pemahaman tentang ekologi mikroba tanah dan proses mikroba telah sangat terhambat oleh ketidakmampuan untuk mengkarakterisasi ini microhabitats pada skala atau resolusi yang relevan dengan sel mikroba. Karena spesifisitas tinggi, sensitivitas, dan skala yang tepat, keseluruhan sel biosensor menawarkan pendekatan yang bisa menangani masalah ini dari resolusi spasial. Tinjauan Pustaka Streptomyces adalah bakteri gram positif yang menghasilkan spora yang dapat ditemukan di tanah. Bakteri ini nonmotil dan berfilamen, Selain ditemukan pada tanah, bakteri ini juga dapat ditemukan pada tumbuhan yang membusuk. Streptomyces dikenal juga karena memproduksi senyawa volatil yaitu Geosmin yang memiliki bau khas pada tanah. Streptomyces termasuk ke dalam golongan Actinomyces yaitu bakteri yang memiliki struktur hifa bercabang menyerupai fungi dan dapat menghasilkan spora. Karakteristik Streptomyces Karateristik Streptomyces yang lain adalah koloni mereka yang keras, berbulu dan tidak/jarang berpigmen. Streptomyces adalah organisme kemoheteroorganotrof yaitu organisme yang mampu menggunakan materi organik yang kompleks sebagai sumber karbon dan energi. Materi yang mereka dapatkan berasal dari degradasi molekul ini di dalam tanah. Karena sifat ini bakteri ini penting untuk menjaga tekstur dan kesuburan tanah, Bakteri ini memiliki suhu optimal untuk pertumbuhan pada 25oC dan pH 8-9. Streptomyces jarang bersifat patogen, tetapi beberapa spesies seperti S. somaliensis dan S. sudanensis dapat menyebabkan mycetoma serta dapat menyebabkan penyakit scabies pada tanaman disebabkan oleh S. caviscabies dan S. Scabies. Manfaat Streptomyces Diketahui pula bahwa Streptomyces adalah sumber utama senyawa antibiotik dewasa ini. Saat ini, Streptomyces memproduksi lebih dari dua pertiga antibiotik alami yang berguna secara klinis. Streptomycin adalah salah satu contoh antibiotik terkenal yang berasal dari Streptomyces, Antibiotik primer tersebut dapat diaplikasikan pada manusia (sebagai obat antikanker, immunoregulator) atau digunakan sebagai herbisida, agen anti-parasit, dan penghasil beberapa enzim penting untuk industri makanan dan industri lainnya. Streptomyces dikenal karena kemampuannya untuk mensintesis senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain, antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholerae, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, dan Shigella dysenteriae. Antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces sangat banyak, antara lain neomisin dan kloramfenikol. Selain itu antibiotik streptomisin juga dinamakan berdasarkan bakteri penghasilnya, yaitu Streptomyces griseus. Antibiotik yang dihasilkan oleh genus ini antara lain nystatin dari S. noursei, amphotericin B dari S. nodosus, natamycin dari S. natalensis, erythromycin dari S. erythreus, neomycin dari S. fradiae, streptomycin dari S. griseus, tetrasiklin dari S. rimosus, vancomycin dari S. orientalis, rifamycin dari S. mediterranei, chloramphenicol dari S. venezuelae, puromycin dari S. alboniger dan lincomycin dari S. lincolnensis. Keuntungan utama menggunakan bakteri biosensor untuk mendeteksi atau mengukur senyawa tertentu dalam sampel alam adalah bahwa hanya fraksi tersedia untuk bakteri, fraksi bioavailable, terdeteksi. Oleh karena itu, pengukuran yang dilakukan relevan dengan efek senyawa pada masyarakat mikroba. Sebuah aplikasi menarik dari biosensor bakteri adalah deteksi antibiotik bioavailable dalam lingkungan yang berbeda. Deteksi antibiotik yang dihasilkan dari produksi antropogenik atau alami sangat penting bagi pemahaman kita tentang evolusi resistensi antibiotik. Apakah antibiotik diproduksi di tanah dengan organisme tanah adat telah menjadi sengketa ilmiah selama beberapa dekade. Kebanyakan antibiotik diekskresikan sebagai metabolit sekunder ketika produsen yang tumbuh di media yang kaya. Hal ini tidak jelas bahwa kondisi di tanah alami akan memungkinkan jenis pertumbuhan yang diperlukan untuk memproduksi dan buang antibiotik. Pertumbuhan produsen antibiotik potensial seperti streptomycetes dalam tanah diperkirakan dilokalisasi di daerah berlainan, daripada merata di seluruh tanah. Oleh karena itu, produksi dan kehadiran antibiotik kemungkinan akan terbatas pada beberapa microhabitats mana kondisi yang menguntungkan. Hal ini membuat deteksi produksi antibiotik pribumi dengan metode konvensional sulit. Streptomyces rimosus adalah produsen industri dikenal oxytetracycline dan awalnya diisolasi dari tanah. Memang, produsen mikroba yang paling dikenal dari tetrasiklin yang berbeda bakteri asli tanah. Actinomycetes biasanya hadir dalam jumlah besar di dalam tanah, dan mereka merupakan sekitar 10% dari populasi mikroba culturable, melebihi 1 juta CFU / g tanah. Selain itu, sejumlah besar faktor penentu resistensi tetrasiklin sering ditemukan pada sampel tanah. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa gen resistensi tetrasiklin yang hadir di tanah karena tetrasiklin yang diproduksi di sana. Namun, produksi tetrasiklin dalam tanah sebelumnya pernah ditunjukkan oleh deteksi langsung, karena kurangnya metode deteksi dengan kekhususan yang diperlukan dan kekuatan resolusi. Kebanyakan studi, bertujuan untuk menguji produksi antibiotik dalam tanah, telah mempekerjakan ekstraksi antibiotik dari tanah sebelum analisis. Namun, metode ini tidak mengambil distribusi spasial serta bioavailabilitas senyawa ke rekening. Jika antibiotik diproduksi hanya dalam jumlah kecil dalam microhabitas beberapa lokal, jumlah ini akan sangat diencerkan selama ekstraksi. Pengenceran ini benar-benar bisa menutupi kehadiran senyawa, sehingga hasil negatif palsu. Pembahasan Deteksi biosensor dari tetracycline dalam tanah dengan analisis FACS dalam penelitian ini dicapai oleh pembangunan biosensor bakteri yang mengandung gen GFP bawah peraturan Ptet promotor tetrasiklin-responsif. Sebuah tetrasiklin-induced ada GFP penghasil membangun biosensor tidak menghasilkan fluoresensi yang cukup untuk deteksi dalam penyortir FACS. The GFP dihasilkan dari konstruksi ini memiliki panjang gelombang eksitasi yang optimal dari 395 nm dibandingkan dengan FACS, yang menggairahkan menggunakan sinar laser 488 nm-. Itu sangat tidak memadai ketika sampel tanah dianalisis, karena Sturt National tanah Taman digunakan dalam penelitian ini mengandung partikel lemah neon banyak memberikan menyebarkan maju dan sinyal SSC di kawasan yang sama dengan Engkau. coli MC4100 sel. Dua biosensor baru karena itu kloning menggunakan gen FACS-dioptimalkan gfp menyatu ke tet represor gen tetR dan Ptet thetet promotor. GFP dihasilkan dari gen ini memiliki peningkatan 21 kali lipat dalam intensitas fluoresensi ketika bersemangat pada 488 nm dibandingkan dengan GFP wild type. Hal ini membuatnya lebih cocok untuk analisis FACS. Dua versi ini membangun biosensor dibuat. Plasmid pTGFP1 containstetR-Ptet, "alami" terjemahan inisiasi wilayah dari gen Teta, fusi gen gfp FACS-dioptimalkan. PTGFP2 plasmid yang terkandung, di samping komponen pTGFP1, terjemahan sangat efisien inisiasi daerah dari atpEgene E. coli. Fluoresensi yang dihasilkan dari pTGFP1 jauh lebih rendah daripada fluoresensi dari pTGFP2. Hal ini berlaku baik untuk basal-tingkat ekspresi GFP (pada 0 ug oxytetracycline per ml) dan pada konsentrasi yang lebih tinggi. E. coli MC4100 mengandung baik plasmid menunjukkan peningkatan fluoresensi dalam menanggapi konsentrasi oksitetrasiklin meningkat. Kedua budaya diinduksi dengan 50 ng per ml oxytetracycline kemudian diuji dalam penyortir FACS. Pada konsentrasi oksitetrasiklin, induksi yang jelas terlihat dalam E. coli MC4100/pTGFP2. Kedua budaya diinduksi ditambahkan ke tanah yang akan digunakan dalam percobaan mikrokosmos, diekstraksi dengan PBS, disaring, dan dijalankan melalui penyortir FACS. Hanya budaya diinduksi E. coli MC4100/pTGFP2 adalah mudah dibedakan dari partikel lain dalam tanah. Microcosms.Four set mikrokosmos tanah steril yang mengandung angka tinggi sel dari biosensor bakteri E. coli tetrasiklin MC4100/pTGFP2 didirikan. Untuk setiap set, penurunan jumlah spora S. rimosus ditambahkan. Setelah inkubasi, mikrokosmos yang dikorbankan dan isi dari bakteri biosensor induksi ditentukan oleh analisis FACS. Kesimpulan Dengan menggunakan Streptomyces rimosus dewasa ini dapat dideteksi produksi dari Oxytetracycline dengan metode – metode yang semakin hari semakin dikembangkan . Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah Whole Biosensor yang digabungkan dengan Cytometry Arus. Ketika memendam oleh Escherichia coli, ini plasmid menghasilkan sejumlah besar protein fluorescent hijau (GFP) di hadapan tetracycline. Ini biosensor tetrasiklin digunakan untuk mendeteksi produksi oxytetracycline oleh S. Rimosus introduced ke dalam tanah steril. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mempelajari interaksi antara produsen antibiotik dan mereka target organisme dalam tanah. Daftar Pustaka 1. Anonim, Genetics of Streptomyces rimosus, the Oxytetracycline Producer. G:\Genetics of Streptomyces rimosus, the Oxytetracycline Producer.htm. [diakses tanggal 9 maret 2013] 2. Bertrand K. P., Postle K., Wray L. V. Jr., Reznikoff W. S.(1984) Construction of a single-copy promoter vector and its use in analysis of regulation of the transposon Tn10 tetracycline resistance determinant. J. Bacteriol. 158:910–919 3. Bronstad K., Dronen K., Ovreas L., Torsvik V.(1996) Phenotypic diversity and antibiotic resistance in soil bacterial communities. J. Ind. Microbiol. 17:253–259

Plathyhelminthes dan Nemathelminthes

MAKALAH CACING Plathyhelminthes dan Nemathelminthes Oleh: Muslimatin 12181040103 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2012 BAB 1. PENDAHULUAN Invertebrata merupakan hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Invertebrata mencakup 95% spesies hewan yang telah diketahui. Mereka menempati hampir setiap habitat di bumi. Adaptasi terhadap lingkungan ini yang menghasilkan keanekaragaman bentuk yang luar biasa, yaitu diantaranya filum Platyhelmunthes dan Nemathelmintes. 1.1 Platyhelminthes Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes = cacing. Jadi Platyhelmintes adalah cacing bertubuh pipih. Tubuh pipih dorsoventral tidak berbuku-buku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung anterior dan posterior. Lapisan tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik aselomata) yaitu ektoderm yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi otot – otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi alat pencernaan makanan. Platyhelminthes hidup di habitat-habitat laut, perairan tawar, dan daratan yang lembab. Ciri-ciri umum Platehiylmintes antara lain: • Tubuh pipih dorsoventral, simetri bilateral • Tidak punya rongga tubuh atau coelom • Saluran pencernaan makanan tidak sempurna • Bersifat hermafrodit • Belum ada organ sirkulasi (sistem peredaran darah) maupun organ respirasi (pernafasan) • Respirasi terjadi secara difusi melalui permukaan tubuh • Sistem saraf tangga-tali yang tersusun dari pasangan-pasangan ganglion yang membentuk otak dihunungkan lewat sel-sel saraf menuju sel-sel sensori di lapisan tubuh. Platyhelminthes kebanyakan merugikan manusia. Sebagian besar hidup sebagai parasit di dalam usus, ataupun dalam hati. Cacing yang hidup di dalam usus, menghisap sari makanan. Sedangkan yang hidup di dalam hati, merusak jaringan dan juga mengisap makanan yang ada di dalam hati, kecuali Planaria yang dapat dimanfaatkan untuk makanan ikan. 1.2 Nemathelminthes Nemathelminthes merupakan hewan triploblastik pseudoselomata. Nama Nemathelminthes berasal dari bahasa Yunani nematos = benang ,helminthes = cacing. Jadi, nemathelminthes berarti cacing benang,tambang atau gilig. Nemathelminthes tersebar secara luas mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika,termasuk padang pasir, sumber-sumber air panas, pegunungan yang tinggi serta lautan yang dalam. Ciri-ciri umum Nemathelminthes antara lain: • Bentuk tubuh simetri bilateral • Dinding tubuhnya terdiri atas tiga lapisan, yaitu ectoderm,mesoderm,dan endoderm • System pencernaannya berupa saluran berbentuk pipa lurus mulai dari mulut sampai ke anus. • Tidak memiliki system sirkulasi,cairan merembes dari bagian tubuh yang satu ke yang lain. • System syaraf berupa cincin saraf(mengelilingi esophagus) yang dihubungkan dengan enam serabut saraf. Walaupun kebanyakan nemathelminthes bersifat parasit baik pada manusia atau hewan, akan tetapi beberapa spesies seperti Asscaris lumbricoides dan Asscaris suillae memiliki peranan penting dalam memelihara keseimbangan alam melalui jaring-jaring makanan. BAB 2. ISI 2.1 Filum Platyhelminthes Platyhelminthes dikelompokkan menjadi tiga kelas utama ,yaitu Turbellaria (cacing bersilia/berbulu getar), Trematoda (cacing isap),dan Cestoda (cacing pita). 1. Kelas Turbellaria Keberadaan kelas Turbellaria lebih kurang hingga saat ini terdapat 4000 spesies di seluruh dunia, hidup di batu dan permukaan sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah batang kayu. Hampir semua Turbellaria hidup bebas (bukan parasit) dan sebagian besar adalah hewan laut. Kebanyakan turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Namun, beberapa spesies laut, khususnya di terumbu karang, memiliki corak warna lebih cerah. Panjang mulai kurang dari 1 mm hingga 50 cm. Spesies terbesar bertubuh seperti kertas. Contoh spesies dari kelas ini adalah Planaria sp. dengan ciri sebagai berikut : - Hidup di air tawar, tubuh bercilia dan tidak bersegmen, mempunyai stigma/bintik mata - Sistem pencernaan masih sederhana (mulut, faring dan usus). Mulut terdapat di bagian ventral/perut - Belum punya anus, mulut berfungsi sebagai jalan masuk makanan yang akan dicerna, juga sebagai jalan keluarnya sisa makanan yang tidak tercerna - Sistem syaraf tangga tali - Alat ekskresi berupa sel api / flame cells - Memiliki daya regenerasi yang tinggi Struktur morfologi Planaria sp. dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 2.1. Struktur morfologi Planari sp. Klasifikasi Planaria sp. dari adalah : Kingdom : Animalia Philum : Platyhelminthes Kelas : Turbellaria Ordo : Tricladida Familia : Paludicola Genus : Euplanaria Spesies : Euplanaria sp. Sistem reproduksi dan regenerasi Planaria sp. Berlangsung secara seksual dan aseksual. Reproduksi tergantung pada panjangnya hari dan temperatur. Reproduksi seksual terjadi pada siang pendek dan udara dingin. Reproduksi aseksual terjadi pada siang panjang dan udara hangat. Reproduksi seksual terjadi melalui perkawinan silang. Pada perkawinan silang, dua Planaria sp. melekatkan diri pada bagian ventral sehingga lubang kelamin (porus genitalis) berhadapan dan bersinggungan, maka terjadilah fertilisasi. Hal ini dapat terjadi jika sel kelamin sudah matang. Planaria sp. Bersifat hermafrodit. Akan tetapi, sperma tidak dapat membuahi sel telur dari tubuhnya sendiri, karena masa pematangan sperma dan sel telur berbeda. Reproduksi secara aseksual berlangsung dengan regenerasi, yaitu diawali dengan badan yang bertambah panjang dan bagian tubuh dekat faring sedikit demi sedikit menyempit dan akhirnya terputus. Bagian yang terputus akan melengkapi diri. Masing-masing akan menjadi tubuh yang baru dan lama kelamaan menjadi lengkap. Kemampuan untuk melengkapi bagian tubuh yang hilang atau rusak disebut Regenerasi. 2. Kelas Cestoda Cestoda atau yang sering dikenal dengan cacing pita merupakan cacing yang tidak mempunyai silia dan sistem pencernaan, Namun sudah memiliki skoleks ( kepala ) yang dilengkapi alat hisap dengan rostelum. Bentuk tubuh menyerupai pita dengan panjang kira-kira 9 m. Tubuh Cestoda tersusun atas ribuan proglotid ( segmen). Pada setiap proglotid yang sudah matang terdapat ribuan telur yang berisi embrio cacing. Cacing pita termasuk hermaforidit dan melakukan pembuahan sendiri pada tiap proglotid. Contoh spesies dari kelas ini adalah Taenia saginata dan Taenia solium. Keduanya hidup parasit pada manusia. a. Taenia saginata Taenia saginata adalah cacing raksasa di antara semua cacing parasit. Panjang Taenia saginata bisa mencapai 8 meter, hampir sepanjang saluran pencernaan manusia dewasa. Taenia saginata ini berwarna putih pucat, tanpa mulut, tanpa anus dan tanpa saluran pencernaan. Badannya tidak berongga dan terdiri dari segmen-segmen berukuran 1x1,5 cm. Taenia saginata bisa hidup sampai 25 tahun di dalam usus inangnya. Siklus hidup Taenia saginata cukup rumit dan berakhir pada manusia sebagai inang tetapnya. Taenia saginata dewasa melepaskan telur-telurnya bersama segmen badannya. Segmen ini bila mengering di udara luar akan melepaskan telur-telur cacing yang dapat termakan oleh sapi saat merumput. Enzim pencernaan sapi membuat telur menetas dan melepaskan zigot yang kemudian menembus lapisan mukosa saluran pencernaan untuk memasuki sirkulasi darah. Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di otot membentuk kista. Bila daging sapi berisi kista tersebut dimakan manusia dalam keadaaan mentah atau setengah matang, enzim-enzim pencernaan akan memecah kista dan melepaskan larva cacing. Selanjutnya, larva cacing yang menempel di usus kecil akan berkembang hingga mencapai 5 meter dalam waktu tiga bulan. Selain masalah gizi, kehadiran cacing pita umumnya menyebabkan gejala perut ringan sampai sedang (mual, sakit, dll). Gambar 2.2. Daur hidup Taenia saginata Klasifikasi Taenia saginata : Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthes Ordo : Cestoda Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : Taenia saginata b. Taenia solium Taenia solium adalah kerabat dekat Taenia saginata yang memiliki siklus hidup hampir sama, namun inang perantaranya adalah babi. Manusia terinfeksi dengan memakan daging babi berisi kista Taenia solium. Cacing ini sedikit lebih kecil dari Taenia saginata (3-4 m panjangnya), tetapi lebih berbahaya. Berbeda dengan Taenia saginata yang hanya membentuk kista di daging sapi, Taenia solium juga mengembangkan kista di tubuh manusia yang menelan telurnya. Kista tersebut dapat terbentuk di mata, otak atau otot sehingga menyebabkan masalah serius. Selanjutnya, jika tubuh membunuh parasit itu, garam kalsium yang terbentuk di tempat mereka akan membentuk batu kecil di jaringan lunak yang juga mengganggu kesehatan. Klasifikasi Taenia solium : Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthes Ordo : Cestoda Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : Taenia solium Gambar 2.3. Daur hidup Taenia solium 3. Kelas Trematoda Kelas trematoda sering dikenal dengan cacing hisap. Dikatakan cacing hisap karena cacing ini memiliki alat hisap yang dilengkapi dengan kait untuk melekatkan diri pada inangnya karena golongan ini hidup sebagai parasit (eksoparasit maupun endoparasit) pada manusia dan hewan. Kelas Trematoda memiliki tubuh yang diliputi kutikula dan tak bersilia. Pada ujung anterior terdapat mulut dengan alat penghisap yang dilengkapi kait. Tubuh dengan panjang lebih kurang 2,5 cm dan lebar 1cm simetris bilateral. Trematoda mengambil makanan berupa cairan tubuh atau jaringan inangnya saat ia menempel. Tubuh Trematoda yaitu pipih dorsoventral dan tidak bersegmen dan aselomata. Sistem reproduksinya hermafrodit. Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah hewan vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia. Salah satu contoh Trematoda adalah cacing hati (Fasciola hepatica). Fasciola hepatica atau disebut juga cacing hati merupakan anggota dari Trematoda. Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 – 1,5 cm. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak. Fasciola hepatica memiliki daur hidup yang kompleks karena melibatkan sedikitnya dua jenis inang, yaitu inang utama dan inang sebagai perantara. Daur hidup cacing hati terdiri dari fase seksual dan aseksual. Fase seksual terjadi saat cacing hati dewasa berada di dalam tubuh inang utama. Fase aseksual dilakukan dengan membelah diri yang terjadi saat larva berada di dalam tubuh inang perantara. Fasciola hepatica hidup pada saluran empedu hewan ternak. Tubuh berbentuk seperti daun yang membulat pada ujung depan dan lancip pada ujung belakang. Panjang tubuh sekitar 30 mm. alat hisap depan dikelilingi oleh mulut. Mulut dilengkapi dengan faring dan esophagus. Cacing ini memiliki saluran pencernaan yang hanya memiliki satu lubang sebagai mulut dan sekaligus sebagai anus. Alat eksresi Fasciola hepatica berupa sel api (flame cell). Sistem saraf dilengkapi sepasang ganglion dengan saraf longitudinal dan saraf transversal. Alat reproduksi pada Fasciola hepatica jantan memiliki sepasang testis dan penis. Testis bercabang-cabang yang terletak di bagian tengah tubuh. Alat reproduksi pada cacing betina adalah ovarium. Ovarium yang bercabang ini memiliki kelenjar kuning telur. Setiap telur yang telah mengalami fertilisasi bercampur dengan kuning telur dan diberi pelindung berupa cangkang. Telur yang keluar dari tubuh cacing akan melewati saluran empedu yang kemudian sampai di usus halus (intestin). Telur keluar dari tubuh hewan ternak melalui feses. Telur yang berada pada lingkungan yang ideal akan menetas pada waktu 9 hari. Jika suhu dingin, telur dapat bertahan untuk beberapa tahun. Telur Fasciola hepatica menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan berenang di air tetapi tidak lebih dari 24 jam. Mirasidium ini harus menemukan inang sementara, yaitu siput air tawar (Lymnaea javanica). Jika larva tidak menemukan siput air tawar, mirasidium akan mati. Larva mirasidium menginfeksi siput air tawar disertai menghilangkan silianya. Dalam waktu dua minggu larva mirasidium berkembang menjadi sporokista. Dalam tubuh siput, sporokista secara paedogenesis berkembang menjadi larva lain yaitu disebut redia. Setiap satu sporokista akan menjadi 3-8 redia. Setelah 8 hari, redia berubah menjadi serkaria dengan ekor yang membulat. Serkaria ini akan keluar dari tubuh siput. Larva akan berenang untuk beberapa jam dan menempel pada rumput air. Pada waktu menempel di rumput air, larva serkaria melepaskan ekornya sehingga berubah menjadi metaserkaria. Metaserkaria dapat menempel pada rumput sampai beberapa bulan. Jika rumput dimakan oleh hewan ternak, larva ini kan masuk ke usus halus hewan ternak. Larva ini menembus dinding usus dan bersama aliran darah dapat sampai ke hati hewan ternak untuk beberapa minggu. Setelah dari hati, larva menuju saluran empedu dan menjadi dewasa. Cacing dewasa dalam saluran empedu akan bertelur. Telur tersebut keluar melalui usus. Gambar 2.4. Daur hidup Fasciola hepatica Klasifikasi Fasciola hepatica Kingdom : Animalia Phyulm : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Echinostomida Famili : Fasciolidea Genus : Fasciola Spesies : Fasciola hepatica 2.1 Filum Nemathelminthes Nemathelminthes berasal dari kata nematos yang berarti benang dan helminthes yang berarti cacing. Jadi arti harfiahnya adalah cacing benang. Namun, cacing ini lebih terkenal dengan sebutan cacing gilik karena bentuknya yang gilik atau bulat memanjang. Ciri-ciri umum filum ini yaitu tubuh tidak beruas-ruas, gilik, pada bagian depan terdapat mulut dilanjutkan dengan pencernaan yaitu usus dan diakhiri dengan anus serta tidak memiliki pencernaan gastrovaskuler karena sudah terdapat usus. Nemathelminthes tidak memiliki sistem pembuluh darah dan sistem pernapasan, memiliki kelamin terpisah dan cacing betina umunya lebih besar. Nemathelminthes dibagi menjadi dua kelas yaitu Nematoda dan Nematophora. 1. Kelas Nematoda Kelas Nematoda terdiri dari beberapa spesies tidak hanya bersifat parasitik terhadap manusia, namun juga terhadap binatang, tumbuhan. Nematoda merupakan organisme yang mempunyai struktur sederhana. Nematoda dewasa tersusun oleh ribuan sel-sel somatik, ratusan sel diantaranya membentuk sistem reproduksi. Tubuh Nematoda berupa tabung yang disebut sebagai pseudocoelomate. Terdapat kutikula yang merupakan bagian dinding tubuh bagian luar yang berfungsi sebagai pelindung bagian di bawahnya. Ciri-ciri morfologi Nematoda antara lain: 1. Tubuhnya tidak bersegmen. 2. Bentuknya silindris memanjang, kecuali pada beberapa genera yang berjenis kelamin betina 3. Simetris bilateral 4. Merupakan binatang yang mempunyai tiga lapisan (triploblastik) atau terdiri dari tiga lapis blastula (lapisan ini terbentuk dan berkembang di dalam telur) 5. Mempunyai rongga tubuh semu 6. Tubuhnya transparan (dan tidak berwarna). 7. Memiliki sistem organ tubuh lengkap, yang berupa sistem pencernaan (memanjang dengan bentuk esofagus yang bervariasi) sistem ekskresi, sistem syaraf, sistem pengeluaran, dan sistem reproduksi. Tidak memiliki sistem peredaran darah. Contoh spesies Nematoda yang hidup parasit pada manusia antara lain : • Ascaris lumbricoides (Cacing perut) • Ascaris megalocephala • Ascaris suilael • Ascaris suum • Ancylostoma duadenale (Cacing tambang) • Oxyuris vermicularis (Cacing kremi) • Wuchereria bancrofti (Cacing filaria) a. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides merupakan cacing perut dengan cirri morfologi yaitu cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 60 x 45 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 x 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Siklus hidup parasit Ascaris lumbricoides dimulai dari cacing dewasa yang bertelur dalam usus halus dan telurnya keluar melalui tinja lewat anus , sehingga tahap ini disebut juga dengan fase diagnosis, dimana telurnya mudah ditemukan. Kemudian telur yang keluar bersama tinja akan berkembang di tanah tempat tinja tadi dikeluarkan dan mengalami pematangan. Selanjutnya setelah telur matang di sebut fase infektif, yaitu tahap di mana telur mudah tertelan. Telur yang tertelan akan menetas di usus halus. Setelah menetas, larva akan berpindah ke dinding usus halus dan dibawa oleh pembuluh getah bening serta aliran darah ke paru-paru. Di dalam paru-paru, larva masuk ke dalam kantung udara (alveoli), naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan. Organ reproduksi pada jantan adalah gulungan single testis menyerupai benang, dari mana vas deferens memanjang ke saluran yang lebih lebar, seminal vesicle; ini diteruskan dengan pembuluh pendek muscular ejaculatory yang berlubang ke dalam cloaca. Pada betina terdapat sistem reproduksi berbentuk Y. Masing-masing cabang Y terdiri dari satu gulung ovary menyerupai benang yang bersambungan dengan saluran yang lebih besar, uterus. Uteri dari dua unit cabang ke saluran pendek muscular, vagina, yang berlubang ke bagian luar melalui genital aperture atau vulva. Fertilisasi terjadi pada uterus. Ascaris pathogenic pada manusia. Ketika sejumlah besar larva melewati peradangan paru-paru dimulai dan penyamarataan pneumonia dihasilkan. Cacing dewasa mungkin terdapat pada usus sejumlah besar sebagai gangguan pada usus dan gejala gugup dapat terlihat sebagai hasil dari sekresi zat beracun oleh cacing. Untungnya beberapa obat tersedia untuk dengan mudah menghilangkan cacing; yang terbaik dari hal ini adalah piperazine citrate dan hexyl resorcinol. Ascaris pada dasarnya adalah penyakit pada anak-anak di Amerika Serikat, tetapi persentase yang tinggi dari orang-orang dewasa di beberapa negara lain dapat terinfeksi. Pelajaran di negara ini telah terlihat bahwa gangguan terutama sekali pada keluarga dimana anak-anak dibiarkan mengotori dengan tanah dekat rumah merera. Di bawah kondisi ini tanah banyak mengandung telur embryo yang menemukan jalan menuju ke mulut anak-anakmelalui tangan yang kotor. Infkesi dapat dicegah dengan mudah dengan menjalankan hidup sehat. Ascaris lumbricoides menyebabkan penyakit yang disebut Askariasis. Mereka hidup di rongga usus halus manusia. Berukuran 10-30 cm untuk cacing jantan dan 22-35 cm untuk cacing betina. Satu cacing betina Ascaris lumbricoides dapat berkembang biak dengan menghasilkan 200.000 telur setiap harinya. Telur cacing ini dapat termakan oleh manusia melalui makanan yang terkontaminasi. Telur ini akan menetas di usus, kemudian berkembang jadi larva menembus dinding usus, lalu masuk ke dalam paru-paru. Masuknya larva ke paru-paru manusia disebut terinfeksi sindroma loeffler. Setelah dewasa, Ascaris lumbricoides akan mendiami usus manusia dan menyerap makanan disana, disamping tumbuh dan berkembang biak. Inilah yang menyebabkan seseorang menderita kurang gizi karena makanan yang masuk diserap terus oleh Ascaris lumbricoides. Di Indonesia, penderita Askariasis didominasi oleh anak-anak. Gambar 2.5 . Daur hidup Ascaris lumbricoides Penyebab penyakit ini bisa karena kurangnya pemakaian jamban keluarga dan kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. b. Ancylostoma duadenale Ancylostoma duadenale sering disebut cacing tambang. Dikatakan demikian karena cacing ini sering ditemukan di daerah pertambangan dan beriklim panas. Cacing ini menghisap darah sehingga dapat menyebabkan kematian karena pada saat menggigit, cacing ini mengeluarkan zat anti pembekuan darah(antikoagulasi). Cacing ini banyak terdapat di usus makhluk hidup. Cacing ini akan mengeluarkan telurnya bersama feses dan akan menetas di tanah yang lembap. Apabila telah menetas maka akan menjadi larva rabtidiform (filaform). Larva ini dapat menembus kulit manusia dan ikut beredar ke seluruh tubuh mengikuti peredaran darah yang kembali lagi ke usus, selanjutnya siklus itu akan berulang. Gambar 2.6. Daur hidup Ancylostoma duadenale Cacing ini dapat dibedakan antara jantan dan betina melalui pengamatan morfologinya. Panjangnya sekitar 1-1,5 cm. Contoh cacing tambang adalah Anclyostoma doudenelae dan Necator americans. c. Oxyuris vermicularis Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis hidup di usus besar manusia. Cacing ini disebut juga cacing kremi. Panjangnya 9-12 cm (betina) dan 3-5 (jantan). Cacing ini meletakkan telurnya di anus untuk memperoleh oksigen bagi pertumbuhan larva. Gerakan cacing ini menyebabkan rasa gatal di bagian anus. Jika digaruk dengan tangan, telur itu akan melekat di kuku. Telur itu akan masuk kembali ke dalam tubuh bersama makanan yang telah terkontaminasi tangan yang ada telur cacing kremi. Hal ini disebut autoinfeksi (infeksi diri sendiri). Apabila akan kawin, cacing ini menuju usus besar, dan yang betina akan meletakkan telurnya lagi di anus. Contoh lainnya adalah Oxyuris equi pada dubur kuda atau keledai. Gambar 2.7. Daur hidup Oxyuris vermicularis d. Wuchereria bancrofti Wuchereria bancrofti atau cacing Filaria memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti benang berwarna putih kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih susu. 2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65 - 100 mm, ekornya berujung tumpul, untuk makrofilarial yang jantan memiliki panjang kurang lebih 40 mm, ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria berukuran panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat. 3. Tempat hidup Makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar limfe. Sedangkan pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam pembuluh darah tepi, dan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam, misalnya: paru-paru, jantung, dan hati. Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu: 1. Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu. 2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan. Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria yang masuk ke paskan sarung pembungkusnya, kemudian mikrofilaria menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot dada (toraks). Bentuk cacing Filaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih 1 minggu, larva ini berganti kulit, tumbuh akan lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya, larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh semakin panjang dan lebih kurus, ini yang sering disebut larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi (pindah), mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan ke alat tusuk nyamuk. Gambar 2.8. Daur hidup Wuchereria bancrofti 2. Kelas Nematophora Ciri-ciri Nematophora : 1. Tubuhnya berbentuk filiform, langsing, memanjang, menyerupai rambut, sehinggadisebut juga cacing rambut. 2. Permukaan tubuh dilapisi kutikula 3. Ukuran Cacing jantan lebih kecil dari cacing betina, kecuali jenis Nectonema sp. Yang ukuran jantannya lebih besar dari betina 4. Memiliki mulut yang terletak di bagian anterior (ventral) 5. Bagian ujung posterior cacing jantan bercabang dua 6. Alat sensoris terdapat di epidermis ujung anterior ( di bagian ventral) 7. Tubuhnya tersusun atas 3 lapisan tubuh, yaitu : lapisan kutikula, epidermis, danlapisan otot 8. Nematomorpha muda hidup sebagai parasit, sedangkan yang dewasa hidup bebas. Contoh spesies dari kelas ini adalah Gordius sp. dan Nectonema sp. Klasifikasinya yaitu : Kingdom : Animalia Phyulm : Nemathelminthes Kelas : Nematomorpha Ordo : Gordiodea Famili : Gordiidae Genus : Gordius Spesies : Gordius sp. Kingdom : Animalia Phyulm : Nemathelminthes Kelas : Nematomorpha Ordo : Nectonematoidea Famili :Nectonematodiidea Genus : Nectonema Spesies : Nectonema sp. (a) (b) Gambar 2.9. (a) Gordius sp. (b) Nectonema sp. Secara internal cacing ini pada yang dewasa maupun dewasa muda tidak mempunyai sistem ekskretori, dan nutrisinya hanya diperlukan pada saat berada di dalam tubuh hospes (arthropoda) yaitu dengan absorpsi langsung melalui dinding tubuh, otot dinding tubuhnya hanya mempunyai otot longitudinal. Individu anggota filum Nematomorpha bersifat diesis dan fertilisasinya internal. BAB 3. PENUTUP 3.1. Kesimpulan A. Filum Plathyhelminthes terdiri dari tiga kelas, yaitu : a. Turbellaria (cacing bersilia/berbulu getar), contoh spesiesnya Planaria sp. b. Trematoda (cacing isap), contoh spesiesnya Fasciola hepatica. c. Cestoda (cacing pita), contoh spesiesnya Taenia saginata dan Taenia solium. B. Filum Nemathelminthes dibagi menjadi dua kelas, yaitu: a. Nematoda, parasit pada manusia dan hewan, contohnya Ascaris lumbricoides. b. Nematophora, larva bersifat parasit sedangkan bentuk dewasa hidup bebas, contoh spesiesnya Nectonema sp.